Pages

Wednesday, March 7, 2012

INI PENSIL SAYA

Pensil saya ternyata tak bisa bicara. Tak pernah sekalipun ia mengeluarkan kesahnya, terhadapku, sang pemakai sejatinya.
          Harusnya, pensil itu menjerit ketika ia diraut. Pisau rautan menggores kepalanya, hingga menjadi lancip. Bisa digoreskan ke atas kertas putih. Bukannya itu sakit?
          Tapi harusnya, ia juga berteriak. Bukankah digoreskan itu sakit? Ia digoreskan setiap hari. Jika ia kuat, ia masih lancip untuk beberapa hari. Namun tak jarang, ia lelah juga. Dan ketika ia lelah, ia terlihat rapuh dan mudah patah. Bahkan, pensil sering terlupakan. Kadang, pemakainya lupa akan keberadaannya. Meletakkannya di sembarang tempat. Tergeletak tak ada yang melirik. Terkadang jatuh, dan terinjak. Namun, sekali lagi pensil tidak pernah menangis.
          Tapi pensil saya tak pernah menjerit. Ketika ia patah, ia tak pernah menolak untuk diraut lagi. Ia rela diraut, agar ia bisa menuliskan sebuah sejarah, menuliskan sebutir demi sebutir ilmu, hingga ia semakin tua dan semakin tak bisa diraut. Pensil saya tak akan pernah berhenti menulis, sebelum ia habis oleh waktu. 

0 comments:

Post a Comment